Kata Pengatar oleh Jalaluddin Rahmat pada Jeffrey Lang, Bahkan Malaikat Pun Bertanya, Jakarta: Serambi, 2000. Sore itu, di sebuah restoran hotel berbintang, saya berkumpul dengan sekelompok muslimah. Sambil makan siang, kita merencanakan sebuah seminar internasional di Jakarta. “Subhannalah sekali, yah, kita bisa berkumpul sekarang ini,” kata perempuan paling muda di situ, “Insya Allah, kita akan mengundang syaikh kita. Masya Allah, beliau bersedia datang ke Indonesia.” Kemudian, perempuan muda itu nyerocos memimpin rapat dengan memasukkan setiap ungkapan bahasa Arab dalam setiap kalimatnya.Saya segera menyela dengan menanyakan apakah ia pengikut Ustadz Fulan. Saya mengenal ustadnya itu sebagai orang yang sangat saleh. Kesalehan itu ditampakkan dengan banyak memasukkan zikir dalam pembicaraan. Jika Anda datang ke pesantrennya, Anda akan menemukan pengumuman semacam, “Toko 100 meter lagi, insya Allah,” “Alhamdulillah, ini ruang makan,” atau “Allahu Akbar, ini mushalla.” (Kalimatnya tentu saja tidak persis seperti itu. Saya mengubahnya hanya supaya pesantren itu mudah-mudahan tidak teridentifikasi). Ustadnya sendiri memakai pakaian Arab – jubah dan serban. Jika Anda agak dekat dengan beliau, Anda akan mencium minyak kesturi, asli dibeli dari Madinah. Satu botol kecil minyak itu pernah diberikannya kepadaku. Bila saya memakai parfumnya itu, keluarga saya segera mendengus sambil berkata, “Bau Arab!” “Kesalehan” perempuan itu dan ustadznya mengingatkan saya kepada serangan kawan saya yang kejawen: “Aku tidak mau mengikuti kamu, karena agama kamu itu agama Arab. Mungkin lebih baik bagiku ikut Kristen saja.” Saya menjelaskan kepadanya bahwa Islam itu agama universal, melintas ruang dan waktu. “Omong kosong,” kata dia, “buktinya kamu harus sembahyang dengan bahasa Arab. Dalam Kristen kita membaca Alkitab dalam bahasa Indonesia, dan sembahyang dengan menggunakan bahasa Indonesia.”Untunglah waktu itu dan sampai sekarang, walaupun saya sudah diberi gelar kyai, saya tidak pernah memakai jubah atau serban yang dirancang gaya Arab. Saya tegaskan bahwa bahasa Arab itu hanya dipergunakan untuk membaca Al-Quran dan doa-doa standar dalam salat. Untuk menyampaikan doa sendiri, baik di dalam maupun di luar salat, kita boleh menggunakan bahasa Indonesia. Sambil sedikit menyerang balik, saya juga menyebut kebiasaan orang Katolik untuk menyampaikan doa-doa baku mereka dengan bahasa Latin atau para mahasiswa yang menyanyikan lagu Godiamus Igitur atau kalangan kedokteran yang terus menerus menggunakan bahasa Latin.Sekiranya saya berdebat lagi dengan teman Kejawen itu sekarang, saya mungkin tidak berkutik. Ia akan menyebut perempuan muda itu (maaf, saya berulangkali menyebutnya karena kekaguman saya) dan berbagai contoh Islamisasi yang berbentuk Arabisasi: Protes kepada Gus Dur karena mau mengganti assalamu ‘alaikum dengan selamat pagi. Bank Islam yang mengganti istilah-istilah perbankan dari bahasa Inggris ke bahasa Arab. Hotel yang disebut Islami karena memasang kaligrafi Arab di setiap ruangan. Organisasi yang disebut Islami karena menyebut Anggaran dasar dengan Qanun Asasi. Sebuah buku Islam yang dikritik karena tidak ada tulisan Arab di dalamnya. Pesta pernikahan yang memisahkan tamu pria dari tamu perempuan. Lasykar Jihad yang gentayangan dengan jubah putih dan serban. Keharusan berwajah brewok dan berjanggut. Perempuan yang menutup seluruh mukanya (Empat contoh terakhir ini tidak berkaitan dengan penggunaan Bahasa Arab, tetapi merujuk pada kebudayaan Arab).Betulkah kita harus menjadi orang Arab untuk menjadi Muslim yang baik? Betulkah nama apa pun sebaiknya harus diganti dengan nama Arab, bila kita masuk Islam atau naik haji? Inilah pertanyaan yang mengusik Dr. Jeffrey Lang (seorang mualaf yang menulis buku Even Angels Ask tentang pengalamannya sebagai muslim di Amerika, –red.) ketika ia masuk Islam. Ia memutuskan untuk tidak mengganti namanya, seperti Cassius Clay yang menjadi Muhammad Ali. Ia juga tidak melepaskan dasi dan jasnya untuk diganti dengan jubah dan serban seperti Cat Stevens, yang mengganti namanya menjadi Yusuf Islam. Ia juga pernah berusaha menggunakan thank God sebagai pengganti alhamdulillah dalam percakapan ringan di sebuah Islamic Center. Saya akan mengutip satu bagian dari buku Dr. Lang untuk Anda -masih dalam bahasa Inggris.At the Islamic Center one evening, I was greeted by an American Muslim who asked me how things were going.“Very well, thank God. And how are you?” I responded.“Alhamdulillah!” (All praise belongs to God) he answered. “And how are you?” he asked again.“Fine, thank God!” I repeated.He looked dissatisfied and a few seconds later repeated his question, and I repeated my answer. Another few conversation, and then the same question and answer. I realized he would not give up until he received a satisafactory reply. I held on a little longer but finally gave him the answer he wanted: “Alhamdulillah, “I sighed.With an approving look on his face he nodded, “Alhamdulillah.”Banyak orang Islam memang merasa belum puas kalau belum menggunakan kata-kata seru –interjections– dalam bahasa Arab. Dengan jenaka, Dr. Lang menceritakan kawannya, yang tertarik dengan Islam. Supaya diterima penuh dalam masyarakat Islam, kawannya itu sudah menemukan kuncinya: “Pakai tutup kepala timur tengah, pelihara janggut panjang, katakan al hamdu lillah, ma sya Allah, as salamu alaikum, jazakallahu khayran dalam situasi yang tepat.” Kawannya yang lain, yang sudah masuk Islam, berkomentar bahwa orang Islam itu tampaknya menduga Tuhan hanya mengerti Bahasa Arab.Kesan bahwa Islam itu agama orang Arab adalah salah satu di antar stereotip yang popular di Barat. Kita menyebutnya setereotip, karena kesan itu terus bertahan walaupun “survei membuktikan” bahwa lebih dari 85 persen umat Islam itu bukan Arab. Karena itu, tidak mengherankan jika para mualaf umumnya, termasuk Dr. Lang dan kawan-kawannya menangkap kesan itu.Delapan tahun setelah masuk Islam, Dr. Lang membawa semua keluarganya pergi hijrah ke Arab Saudi. Ia ingin menikmati Islam dalam lindungan negara Islam, the land of the Prophet! Delapan tahun ia hidup bersama komunitas Islam dalam lingkungan budaya Amerika. Ia tertarik kepada Islam bukan karena perilaku orang Islam di Amerika. “My only Muslim contacts for many years were drug users, adulterers, and gamblers,” tulis Dr. Lang. Selama delapan tahun ia telah menyaksikan bagaimana Muslim yang salih saling mendengki, saling memaki, dan saling memfitnah. Dengan sedih ia harus menyaksikan kawannya, seorang Muslim bule juga, yang akhirnya pindah ke agama Budha, karena dalam agama Budha ia menemukan pemeluk agama yang mempraktekkan apa yang diajarkan agamanya. Dengen kecewa ia harus melihat di depan matanya bagaimana orang-orang Islam yang saleh itu menjual–Dr. Lang menggunakan kata “melacurkan”–agamanya untuk tujuan-tujuan duniawi (Hal yang tidak aneh di negeri kita dan juga di negeri-negeri Islam yang lain).Ia melakukan hijrah ke Saudi bukan untuk menemukan masyarakat islam yang sebenar-benarnya. Ia tahu keadaan masyarakat Islam seperti yang dipelajarinya dalam pengalaman hidupnya sebagai Muslim. Ia pergi ke negeri Rasulullah untuk menemukan kedamaian dan ketentraman dalam menjalankan ajaran Islam. Ia ingin menjalankan salat berjamaah, salat Jumah, puasa Ramadan dan liburan-liburan Islam bersama saudara-saudaranya kaum muslimin. Tetapi, setahun kemudian, ia terbang kembali, pulang ke kampung halamannya, ke Universitas Kansas. Ia menyadari bahwa “there was no escape for being American.” Karena alasan yang tidak bisa dipahaminya, Arab Saudi telah mencekiknya secara ruhaniah:Di negeri yang menyaksikan kebangkitan Nabi Muhammad, yang mengandung dua kota Islam yang paling suci dan Ka’bah yang menjadi arah salat saya, negeri yang didominasi oleh kaum muslimin, dan tanah air bagi kebudayaan yang dipenuhi agama, saya merasa beku secara spiritual, tanpa harapan sama sekali. Di Arab Saudi, Islam berhenti sebagai kekuatan untuk perkembangan kepribadian, dan iman saya segera kehilangan daya hidupnya. Bukan karena negeri itu kekurangan orang-orang saleh dan beragama –sebaliknya, saya banyak berjumpa dengan kaum Muslimin yang ihklas dan taat di sana– tetapi dalam pandanganku, gerakan Islam di kerajaan Saudi diarahkan menuju masa lalu yang diidealisasikan. Saya tidak bisa menjadi bagian daripadanya; sesuatu pemahaman agama yang didasarkan pada penafsiran Islam, yang secara cepat kehilangan kepercayaanku.Dr. Lang ingin meninggalkan watak keamerikaannya dan menjadi Muslim. Ia gagal. Tetapi ia berhasil menemukan pencerahan baru. No escape for being American. Ia tidak perlu lari dari keamerikaannya. Menjadi Islam tidak berarti harus menanggalkan semua latar belakang budaya kita. Islam tidak pernah datang pada suatu vakum kultural. Karena itu, kita menemukan Islam Arab, Islam Iran, Islam India, Islam Cina, Islam Indonesia. Mengapa tidak boleh ada Islam Amerika?Sebelum Dr. Lang sampai ke situ, di benua Eropa seorang mantan Komunis yang menjadi Muslim, Dr. Roger Garaudy menegaskan bahwa ada hambatan besar bagi kaum muslimin untuk mengembangkan ijtihad: keterikatan kepada masa lalu dan taklid kepada Barat. Yang pertama melihat masa lalu sebagai rujukan ideal. Pemikiran Islam terdahulu, hasil ijtihad orang-orang Islam ratusan tahun yang lalu dianggap begitu sakral sehingga sebagian kaum Muslim dengan bangga menyebut dirinya Salafi (Secara harafiah berarti merujuk kepada yang terdahulu, masa lalu, masa yang sudah lewat. Menurut Kamus, salafa berarti to be over, be past, be bygone, precede, antecede). Karena ratusan tahun pertama sejarah Islam bergabung dengan sejarah Arab, maka Islam masa lalu berjalin berkelindan dengan kearaban. Dari sinilah muncul anggapan bahwa menjadi Muslim adalah menjadi orang Arab. Mereka tidak bisa memisahkan antara kebudayaan Arab dengan ajaran Islam. Islam yang melintas ruang dan waktu sekarang dibatasi pada Ruang Arab dan Waktu yang lalu.Dr. Lang pernah ditegur oleh orang Maroko karena tidak berpakaian yang sesuai dengan Sunnah. Pakaian yang “menyunnah” itu mestilah jalabiyah gaya orang Maroko. Ia mengingatkan kawannya bahwa bahkan pakaian yang dikenakan oleh orang Saudi sekarang tidak sama dengan pakaian Hijaz abad keenam, pada zaman Rasulullah. Saya teringat kepada jenis-jenis busana Muslim sekarang ini. Menurut kawan saya dari Jemaat Tabligh, yang di situ Lang pernah menjadi salah seorang anggotanya, pakaian Islam bagi pria itu adalah pakaian orang India (Pakistan); yakni, kemeja yang memanjang sampai ke atas lutut. Bagi kebanyakan orang Indonesia, busana Muslim untuk salat dan acara keislaman adalah baju koko tanpa kerah. Bagi saudara saya dari Lasykar Jihad, pakaian Islami adalah pakaian orang Arab Selatan. Bagi saudara saya yang lain, yang terpengaruh Syiah, busana Muslim adalah apa yang dipakai oleh para mullah di Iran. Maka sah-sah saja kalau Dr. Jeffrey Lang mengusulkan agar busana Muslim bagi orang Barat ialah pakaian lengkap, dengan jas dan dasi.Tapi, jika kita menerima usulan Lang, tidakkah kita jatuh pada hambatan besar kedua: mengekor Barat? Memang, di samping kaum “fundamentalis” yang mengekor kebudayaan Arab, kita menemukan juga kaum “liberal” yang mengekor Barat. Kelompok ini melihat Barat sebagai puncak peradaban. Mereka kemudian membungkus kebudayaan Barat dengan kemasan Islam. Saya pernah mendengar seorang mubalig–yang sekaligus doktor lulusan Amerika–bercerita di depan saya bahwa di Amerika Islamnya banyak tetapi Muslimnya sedikit; di Arab Saudi, Muslimnya banyak tapi Islamnya sedikit. Dari pemujaan kepada Barat yang berlebihan tidak jarang sebagian di antara mereka meninggalkan sebagian syariat, yang dianggapnya bukan ajaran Islam. Kelompok kedua ini juga jatuh pada jebakan kelompok pertama: tidak dapat memisahkan antara kebudayaan Arab dan ajaran Islam.Agar tidak jatuh kepada jebakan-jebakan itu, Dr. Lang menganjurkan agar kita tetap mengembangkan sikap kritis. Ia menulis, “The most effective way to counter either danger is not to discourage questioning and criticism, but, on the contrary, the Muslim community should encourage both. We are most prone to error when we refuse to be self-critical.” Kita harus selau bertanya dan mempertanyakan. Even Angels Ask, bahkan malaikat pun bertanya! Lihatlah, bagaimana malaikat yang sangat dekat dengan Tuhan “berani” mempertanyakan kebijakan Tuhan untuk menujuk khalifah di muka bumi: Apakah Engkau akan jadikan di sana makhluk yang berbuat kerusakan dan menumpahkan darah (QS. Al-Baqarah; 30).Pertanyaan malaikat inilah yang sangat mengesankan Dr. Jeffrey Lang. Ini juga yang membawanya kepada Islam. Jika ia ditanya mengapa masuk Islam, jawabannya singkat saja: Al-Quran. Bacalah Al-Quran dengan terus bertanya. Pada Bab 2 dari buku Even Angels Ask, Dr. Lang menunjukkan bagaimana setiap pertanyaan yang mengusik dia dijawab oleh rangkaian ayat-ayat Al-Quran satu demi satu. Membaca Al-Quran menjadi dialog ruhani yang menyejukkan.Pada akhir bukunya, Dr. Lang menyarankan agar Islam Amerika harus menciptakan iklim intelektual yang mendukung penelitian kritis. Ia menyaksikan pada masyarakat Muslim di Amerika ada keengganan untuk menerima kritik satu sama lain. Mereka cenderung saling menuduh dengan tuduhan kafir atau bid’ah. Di antara sesama Muslim disebarkan desas-desus dan fitnah, berita dusta, dan pergunjingan. Seorang mualaf baru kawan Lang pernah berkata kepadanya bahwa hiburan favorit orang Islam adalah bergunjing dan menyebarkan fitnah.Membaca buku ini dari awal sampai akhir adalah mengikuti perjalananan spiritual bukan saja seorang Muslim Amerika tetapi juga perjalanan intelektual Muslim di mana pun, ketika ia dihadapkan pada kegelisahan karena benturan Islam konseptual dengan Islam aktual. Dr. Lang menulis buku ini untuk anaknya. Ia sudah menjawab beberapa pertanyaan yang mengganggunya. Ia ingin agar anaknya melanjutkan penelitian kritis ini dengan berpijak pada hasil kajian kritisnya.Apa saja yang sudah ia pertanyakan dan sudah ia temukan jawabannya? Secara singkat, ia mengajukan pertanyaan-pertanyaan berikut ini: Betulkah menjadi Muslim berarti menjadi Arab? Betulkah setiap Muslim harus berjuang mendirikan negara Islam, kalau perlu dengan menghancurkan negara Amerika? Betulkah Islam agama yang misoginis –yang membenci perempuan? Bagaimanakah strategi dakwah Islam di Barat, agar kita menarik non-Muslim ke pangkuan Islam dan sekaligus mempertahankan putra-putra Islam dalam pangkuan Islam? Seluruh buku ini menjawab pertanyaan itu dengan jawaban yang sangat menakjubkan. Ia menulis dengan sangat persuasif. Ia meyakinkan kita tidak saja dengan argumentasi yang logis dan tidak terbantahkan, bukan hanya dengan dalil akli dan nakli. Ia juga menyentuh emosi kita dengan kisah-kisah yang terkadang jenaka, terkadang mengharukan.Seperti Dr. Murad Hofmann, muslim Jerman yang menulis Islam als Alternative, saya juga ingin menggaris-bawahi anjuran Lang agar kita tidak bersandar secara membuta pada masa lalu kita, tidak mendogmakan pendapat, kecuali kalau kita ingin jatuh pada atrofi dan kehancuran. Dengan latar belakang budaya kita masing-masing, marilah kita kembangkan Islam yang kontekstual, Islam yang tumbuh subur pada tanah mana pun. Bukan hanya Islam Arab, tetapi juga Islam Amerika, Islam India, dan tentu saja Islam Indonesia. []GERBANG KESELAMATANhttp://www.blogger.com/profile/09275879337354328493ambincix@yahoo.co.id0tag:blogger.com,1999:blog-1664662765953131035.post-62392170179752179202010-06-01T05:22:00.000-07:002010-06-01T05:22:56.798-07:00SERAHKAN PADA TUHANHidup di zaman kebangkitan Islam (kalau benar konsep ini menggambarkan realitas sosial sekarang) memiliki persoalan tersendiri. Ke dalam lingkungan mana pun saya masuk, di sana saya jumpai orang yang semangat Islamnya menggelora.Ketika di Universitas Muhammadiyah Jakarta saya diminta bicara di depan segenggam mahasiswa “penjaga mesjid”, saya diingatkan agar lebih menguasai Islam secara tekstual. Karena, pendekatan saya, kata salah seorang dari mereka, bersifat “ilmu sosial” biasa. Bagi banyak pihak, yang bersifat formalis macam ini, sesuatu termasuk “agama” hanya bila ia diwarnai Quran dan Hadis.Dari tahun ke tahun, ada saja mahasiswa Indonesia, di Universitas Monash, yang bersemangat memburu daging halal. Dasarnya, daging di supermarket haram karena disembelih tidak dengan cara Islam. Penjelasan–bahwa makanan para ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) halal bagi Muslim– tidak pernah laku.Akhir-akhir ini, saya memberi ceramah. Tanpa menyebut sepotong pun ayat, saya bicara agama. Buat saya, agama terpancar dalam hidup, bukan dalam kitab. Saya tidak kitab minded, karena, agama lebih menuntut tindakan, bukan kecanggihan ilmu, dari pemeluknya. Kita bisa jadi pemeluk yang baik tanpa harus menjadi ahli.Persoalan muncul. Saya diultimatum oleh wanita berjilbab: “Lain kali, hati-hati. Kalau ceramah begitu di Indonesia bisa pulang tinggal nama.”Betapa mengerikannya. Memang, hanya orang yang paham yang tahu bahwa saya pun sebenarnya berpijak pada ayat Tuhan, yakni ayat kauniah yang tak disebutkan dalam kitab suci. Mas Djohan (Djohan Effendi) pernah bicara tentang guru yang membikin murid bertanya-tanya. Saat pelajaran agama, anak-anak diajak membersihkan halaman, kamar mandi dan WC.“Pak, katanya, pelajaran agama?” tanya seorang murid.“Ya, ini juga pelajaran agama,” kata Pak Guru, tenang. “Dasar teorinya: ‘kebersihan adalah sebagian dari iman’. Nah, dengan tindakan tadi, kita buktikan, kita pun beriman.”Anak-anak mesem. Agama, dengan begitu, masih tetap agama biarpun tak diwarnai bunyi ayat-ayat dalam kitab suci.Hardi itu lulusan PGA. Ia setengah kiai. Paham Quran dan Hadis. Bahkan, juga kitab kuning. Tapi, ia gelisah. Ada yang tak beres dalam hidupnya. Ia pun datang pada Pak Kiai, mohon petunjuk.“Kamu tidak butuh kiai macam saya,” kata Pak Kiai. “Pergilah kamu pada Kamin.”Hardi kaget. Orang tahu, Kamin itu cuma tukang bakso. Tahu apa tukang bakso, yang tak pernah sekolah, tentang rahasia hidup? “Kiai gendeng,” pikirnya.“Tidak, saya serius, Nak,” kata Pak Kiai.Hardi sungkem. Seperti sujud, ia mencium dengkul Pak Kiai, sambil minta maaf atas gendeng-nya tadi.Tapi, mengapa Kamin? Ia masih penasaran. Tentu saja, Pak Kiai bermaksud baik. Bukankah, kadang, kiai tak mau bicara langsung?Dengan rumusan itu di kepala, ia pergi ke rumah Kamin. Tak ada yang istimewa di sana, selain bahwa Kamin sekeluarga bekerja keras. Anak-anaknya dikerahkan untuk membantu mencuci gelas. Yang lain mengerok kelapa muda untuk campuran es. Yu Ginah, istrinya, menggoreng krupuk.Setelah periksa sana periksa sini, Kamin ke warung kecil di depan rumahnya itu, melayani pembeli. Warung itu maju. Bakso, krupuk udang, dan es kelapa, jadi pasangan serasi. Pembeli berjejal.Anak-anak Kamin, empat orang, semua sekolah. Biayanya, ya, dari warung kecil itu. Biaya sekolah dari situ. Biaya hidup dari situ. Mereka hidup tentram.Hardi mulai tertarik. Ia mencoba mengamati lebih dekat, lebih dalam. Setelah salat bersama pada suatu hari, mereka dialog. Tapi, Kamin itu pendiam. Ia bicara sedikit.“Apa doa kang Kamin sehabis salat?” tanya Hardi.“Saya serahkan hidup ini pada Tuhan,” jawabnya, polos.“Warung Anda maju. Apa rahasianya?”“Tidak ada. Semua terserah Tuhan.”“Anak-anak Anda sekolah. Apa rencana Anda untuk mereka?”“Semua saya serahkan Tuhan.”“Maksudnya?”“Saya orang bodoh, tidak tahu apa mereka bisa jadi pegawai, buruh, atau tukang bakso juga. Saya percaya, Tuhan mahapengatur. Jadi, semua terserah Tuhan.”Hardi pernah mendengar, orang Barat yang mengagumi Soedjatmoko menganggap bahwa almarhum adalah jenis orang yang belum dirusak oleh sistem pendidikan tinggi. Ia masih murni. Kamin, si tukang bakso ini, iman dan takwanya juga murni, dan total.Hardi sujud. Bijaksana Pak Kiai mengirim dia ke Kamin. Ketulusan macam Kamin itu, memang, yang belum dimilikinya selama ini. []GERBANG KESELAMATANhttp://www.blogger.com/profile/09275879337354328493ambincix@yahoo.co.id0tag:blogger.com,1999:blog-1664662765953131035.post-50039409482784833212010-05-27T22:40:00.000-07:002010-06-01T05:26:23.783-07:00Hanyalah pendapat mereka tentang Alquran dan hadits.Sebetulnya, terkadang yang ada hanya pendapat kita tentang Alquran dan hadits, tapi lantas kita malah berpendapat itulah Alquran dan hadits sebenar-benarnya. Kalau orang seperti ini –misalnya– berbeda pendapat dengan saya, maka saya diklaim bertentangan dengan Alquran dan hadits. Padahal tak jarang itu hanya pendapat mereka tentang Alquran dan hadits. Sebagai pakar komunikasi yang aktif menggeluti wacana keislaman, Dr. Jalaluddin Rakhmat memiliki kompetensi untuk berbicara masalah freedom of speech sebagai bagian integral dari kebebasan berekspresi yang dijunjung tinggi ajaran Islam. Kang Jalal, demikian sapaan akrab beliau, menumpahkan kegalauannya atas fenomena institusionalisasi agama yang menyebabkan tersingkirnya pendapat-pendapat pinggiran atas nama Tuhan. Kali ini, Ulil Abshar-Abdalla dari Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) mewawancarai Kang Jalal, pengasuh Yayasan Muthahhari, Bandung yang disiarkan Radio 68H dan jaringannya di seluruh Indonesia pada hari Kamis, 13 Juni 2002. Berikut petikannya: Kang Jalal, Islam memiliki diktum “lâ ikrâha fî al-dîn” (Tidak ada paksaan dalam beragama -red) dan “lakum dîinukum wa liyadîn” (bagimu agamamu dan bagiku agamaku -red). Nah, dari sini, bagaimana Islam melihat kebebasan berpendapat? Saya kira rujukannya bukan pada “lâ ikrâha fî al-dîn”. Kalau rujukannya dari situ, orang akan mengatakan: “Memang nggak ada sih, paksaan untuk masuk agama, tapi begitu kita sudah berada dalam agama tertentu, seseorang harus beragama!” Kalau mau masuk suatu akidah, begitu masuk dia dipaksa. Ini sama seperti ungkapan “tidak ada paksaan masuk PKB”. Tapi setelah seseorang berada di dalam PKB, dia harus dipaksa memenuhi kewajibannya sebagai anggota PKB. Jadi, keterangan tentang kebebasan berekspresi dalam Islam, bisa kita rujukkan kepada dua hal. Pertama, melalui sumber-sumber Islam dari Alquran dan Sunnah. Kedua, melalui praktik-praktik sejarah. Lantas apa landasan kebebasan berekspresi dalam doktrin agama? Secara doktrin, kita akan banyak sekali menemukan ayat-ayat Alquran yang memberikan kebebasan kepada manusia, bahkan dalam memilih agama itu sendiri. Ayat-ayat “faman syâ’a falyu’min, wa man syâ’a falyakfur (barangsipa yang menghendaki bolehlah dia beriman dan barangsiapa yang menghendaki bolehlah dia kafir). Kalau begitu, ada juga hak untuk tidak beragama yang dihormati oleh Islam? Ya, ada hak juga untuk kafir sekalipun dari ayat itu. Dan itu dihormati oleh Islam. Kalau kita lihat dalam sejarah Islam, bagaimana fakta kebebasan berekspresi? Dalam periode Nabi Saw, kebebasan berpendapat sangat dihormati. Nabi malah melarang orang memerangi pendapat yang berbeda. Di kalangan para sahabat saja, terjadi perbedaan pendapat dalam memahami Sunnah Nabi. Semua itu, berdasar fakta sejarah, diapresiasi oleh Nabi dengan arif. Dan yang paling penting, Nabi tidak menyebutkan —misalnya— ini yang paling benar dan itu salah. Namun demikian, dalam perkembangan sejarah ada beberapa skandal tentang pemberangusan kebebasan berpendapat seperti perlakuan terhadap aliran Mu’tazilah maupun kasus inkuisisi yang dilakukan Khalifah al-Makmun. Bagaimana menjelaskan ini? Ya, saya kira pemberangusan atau pembatasan kebebasan berpendapat bahkan dimulai sejak zaman kekhalifahan Abu Bakar yang memuncak pada zaman Umar bin Khattab. Lalu, mulai bebas lagi pada masa Ali bin Abi Thalib. Pada zaman Abu Bakar, dimulai larangan periwayatan hadits. Padahal, seperti yang kita ketahui, hadits merupakan upaya para sahabat yang sezaman dengan Nabi untuk menangkap makna dari ucapan dan perilaku Nabi. Yang disebut Sunnah, menurut Fazlurrahman, adalah opini yang dikembangkan para sahabat berkaitan dengan perilaku Nabi. Mereka memberikan makna pada perilaku Nabi, dan kemudian menuliskannya. Pada zaman khalifah Abu Bakarlah larangan pengumpulan dan periwayatan hadits itu. Bukankah pelarangan itu ada motifnya, yakni khawatir bisa menyaingi Alquran? Itu terjadi pada masa Umar bin Khatab. Alasannya memang takut menyaingi Alquran. Khalifah Umar bahkan memenjarakan beberapa sahabat yang meriwayatkan hadits. Saya kira, ketidaksenangan akan periwayatan hadits berlanjut jauh setelah khalifah yang empat? Betul, sampai zaman Thâbiîn (penerus sahabat -red) masih banyak orang yang takut meriwayatkan hadits. Akibatnya, salah satu sumber berekspresi dan berpendapat kaum muslim menjadi terbengkalai. Kemudian pasca wafatnya Imam Ali atau sejak masa Muawiyyah, semua pendapat yang bertentangan dengan paham politik Muawiyyah diberangus. Waktu itu terjadi manipulasi besar-besaran terhadap hadits Nabi. Jadi, masa itu ada hadits Nabi yang dilarang untuk diberitakan, dan pada waktu bersamaan, ada juga hadits yang diciptakan. Itu karena kepentingan-kepentingan politik. Lalu siapa saja yang haditsnya bertentangan dengan hadits penguasa dihukum. Saya kira, sejarah seperti itu berulang terus sampai sekarang. Kalau kita tanyakan hal ini secara kritis, maka soal yang muncul adalah: “Mengapa pada level doktrinal, Islam menjunjung tinggi kebebasan berpendapat, tapi pada fakta sejarah terjadi skandal-skandal seperti itu?” Saya kira, itu terjadi juga pada agama lainnya. Kalau kita meniru doktrinnya, kita akan menemukan kebebasan berpendapat. Tapi setelah agama itu terlembagakan (institutionalized), mulai ada hierarki dan doktrin-doktrin yang dianggap resmi dan yang tidak resmi. Yang tidak resmi kemudian dianggap menyimpang dan tidak punya hak untuk tetap hidup bersama doktrin yang resmi. Itu gejala yang sama di setiap agama. Begitu agama dilembagakan dan ada pengawalnya, kebebasan lenyap. Bisa dijelaskan lebih detail? Mungkin kita bisa melakukan beberapa analisis. Bisa analisis psikologis, maupun sosiologis. Kita mulai dari analisis sosiologis. Agama yang sudah dilembagakan akan berkaitan erat dengan kekuasaan. Dan –tentu saja– kekuasaan dilegitimasi oleh suatu ideologi. Sementara, ideologi sebetulnya merupakan pendapat yang sudah dibakukan menjadi pendapat resmi. Munculnya dualisme pendapat resmi dan tidak resmi yang mengakibatkan pendapat resmi dianjurkan dan yang tidak resmi disingkirkan memang terjadi pada semua agama. Tapi yang ingin saya tanyakan secara spesifik, kenapa itu terjadi dalam agama Islam? Pertanyaan “mengapa” itu, mungkin butuh jawaban panjang. Namun saya mencoba mencari jawaban yang pendek. Saya kira, ini berkaitan dengan sebuah sikap yang oleh Nabi selalu ditegur. Yaitu, sikap merasa diri yang paling benar. Karena merasa paling benar, maka pendapat-pendapat yang bertentangan dengannya dianggap salah. Karena salah, secara agama harus dihancurkan. Istilah agama menyebut kesalahan itu bâthil. Sementara, doktrin agama menyebutkan adanya pertarungan antara haq dengan bâthil seperti disinyalir Alquran: “Wa qul jâ’a al-haq wa zahaqa al-bhâtil inna al-bhâtil kâna zahûqa” (dan katakanlah: “kebenaran telah datang, dan kebatilan akan sirna. Sesungguhnya kebatilan itu akan (selalu) sirna –red). Ironisnya, tidak jarang yang dianggap benar adalah pendapat pribadi dia. Pendapat dia dianggap satu-satunya kebenaran. Kemarin saya sempat berbincang dengan Pak Alwi Shihab. Katanya, salah satu penyebab terjadinya legalisme dalam Islam adalah kecenderungan untuk mengangkat pendapat kita yang sangat manusiawi menjadi sangat Ilahi. Sebetulnya, terkadang yang ada hanya pendapat kita tentang Alquran dan hadits, tapi lantas kita malah berpendapat itulah Alquran dan hadits sebenar-benarnya. Kalau orang seperti ini –misalnya– berbeda pendapat dengan saya, maka saya diklaim bertentangan dengan Alquran dan hadits. Padahal tak jarang itu hanya pendapat mereka tentang Alquran dan hadits. Kasusnya sama seperti pendapat orang yang menganggap perlunya mendirikan negara berdasar syariat Islam. Di situ, syariat dianggap sangat divine (sangat Ilahi). Padahal, yang kita sebut syariat mungkin sembilan puluh persen sangat manusiawi. Artinya, syariat adalah pemahaman kita tentang syariat itu sendiri. Sebagai contoh, saya pernah berdebat tentang syariat Islam di Makassar. Pada waktu itu, saya berhadapan dengan “orang-orang salih” yang berusaha menerapkan syariat Islam. Ketika saya bertanya: “Syariat Islam yang mana yang akan Anda terapkan di sini?” Sebab, syariat Islam itu sangat bergantung pada mazhab Anda: apakah syariat Islam ala Taliban, ala PAS di Malaysia, ala NAD di Aceh, Arab Saudi atau Iran? Jadi, penafsiran tentang itu berbeda-beda. Di situ, saya hanya ingin menyadarkan, bahwa apa yang kita sebut syariat, kebanyakan lebih manusia ketimbang yang ilahi. Malangnya, terkadang yang manusiawi itu sudah dianggap ilahi. Bila suatu pendapat sudah kita anggap sakral, maka setiap orang yang bertentangan dengan kita akan kita hancurkan karena dianggap bagian kebatilan. Dulu ada pelarangan terhadap Darul Arqam, dan sekarang muncul usaha untuk memeriksa ajaran di Pesantren Zaytun Indramayu. Terlepas dari itu, bagaimana kita menyikapi perbedaan-perbedaan pemahaman dalam suatu ajaran? Saya sendiri beranggapan, biarlah orang-orang Islam mengembangkan pendapat mereka sendiri dan tidak seorang pun di antara kita yang berhak menghakimi suatu kebenaran. Dan perlu diingat, sesuatu yang bisa kita lakukan dalam agama hanyalah mendekati (to aproximate) kebenaran dengan cara kita sendiri. Jadi ketika kita mencoba menghakimi suatu kelompok seperti Pesantren Zaytun, yang perlu dipertanyakan adalah: “Dari mana kriteria penyimpang itu?” Bukankah itu dari kriteria yang kita bikin? Bukankah problem freedom of speech dalam konteks Indonesia juga sering terjadi pada masa lalu (baca: Orde Baru)? Itu juga pertanyaan saya: kenapa kita baru meneriakkan kebebasan berpendapat sekarang? Sesuai concern saya sudah dari dulu memperjuangkan kebebasan berpendapat dengan resiko apa pun. Saya melihat, sebetulnya sepanjang sejarah, ada saja kelompok-kelompok yang berjuang menegakkan kebebasan berpendapat. Umpamanya di zaman khulafâ al-râsyidîn, muncul orang seperti Abu Dzar al-Ghifari yang oleh Nabi, lidahnya dijuluki sebagai orang yang paling jujur di bawah kolong langit. Itu merupakan pujian Nabi untuk seorang yang memperjuangkan kebebasan berpendapat. Di Indonesia, pada zaman Orba juga ada beberapa orang yang menjunjung tinggi kebebasan berpendapat. Umumnya, mereka masuk penjara dan memikul resiko tinggi. Mungkin baru zaman Gus Dur orang yang bebas berpendapat tidak dipenjarakan. Maka muncullah hiruk pikuk freedom of speech. Mestinya, kita tidak lagi berbicara masalah ini, karena kita sudah menyaksikannya dalam realitas. Idealnya, sejak dulu kita meneriakkan itu. Hanya saja, sekarang —zaman Megawati— kita melihat adanya ancaman terhadap kebebasan berpendapat. Mungkin saya melihat ini secara remang-remang. Tapi ada ketakutan, dan kekhawatiran akan kembali lagi ke zaman Orba. Tadi ada yang bertanya bagaimana menghadapi kelompok-kelompok yang keras dan tidak menerima adanya perbedaan pendapat seperti yang kita saksikan sekarang. Bagaimana menghadapi mereka ini? Saya akan jawab dari pengalaman hidup saya saja. Pertama, saya akan mengajak mereka perlahan-lahan kepada kebebasan berpendapat atau penghargaan terhadap cara pandang lain. Biasanya, saya akan membuat mereka ragu lebih dulu atas pahamnya. Sebab sikap ekstrim biasanya muncul karena seseorang terlalu yakin bahwa pendapatnya adalah satu-satunya kebenaran. Saya tunjukkan kepada mereka —secara dialektis— bahwa pendapat mereka keliru dan menggiring mereka untuk menemukan sendiri kekeliruan itu. Tapi cara itu tidak gampang, karena memerlukan forum untuk berbicara seperti itu. Sementara kelompok seperti itu pada galibnya tidak memberikan forum seperti itu kepada kita. Biasanya sudah ada capnya. Misalnya, kelompok Ulil Abshar dari Jaringan Islam Liberal sudah pasti salah. Kalau sudah begini, Anda tidak akan diizinkan untuk masuk ke forum itu. Bila ini yang terjadi, cara yang terbaik adalah qâlû salâma. Saya akan ucapkan salam saja, ketimbang menghambur-hamburkan waktu untuk berdiskusi dengan mereka. Masalahnya, membuat ragu orang lain selalu diasumsikan sebagai tindakan tasykîk (membuat bimbang -red) yang cenderung dituduh meragukan kebenaran Allah dan rasul-Nya? Ya, disitulah kesalahannya. Kita meragukan pendapat mereka, lantas diartikan ingin meragukan kebenaran Alquran dan Sunnah. Biasanya sebagian kelompok yang anti-dialog itu berkelit dengan dalih bahwa apa yang mereka ungkapkan bukan pendapat pribadi mereka, tapi sejalan dengan yang tertera dalam Alquran dan hadits. Seolah-olah, orang yang meragukan pendapat mereka, telah menentang Alquran dan hadits tadi? Mungkin kita harus membedakan antara fikih dengan syariat. Saya belakangan ini kembali mendalami fikih dan membuat rangkain tulisan yang nanti akan saya berikan pada Mas Ulil untuk bisa dimasukkan dalam situs islamlib.com. Judulnya “Dahulukan Akhlak di atas Fikih!”. Judulnya sederhana saja. Saya ingin menunjukkan bahwa fikih adalah proses atau hasil pemahaman kita terhadap Alquran dan Sunnah. Fikih tidak ada yang seratus persen Alquran dan Sunnah. Fikih, bila dikalkulasikan, mungkin 90 persen adalah pemahaman, sementara 10 persen Alquran dan Sunnah. Bagaimana jika ada fikih yang seratus persen Alquran dan Sunnah? Menurut saya, itu bukan fikih lagi. Maksudnya begini, ketika kita membuka Alquran, lantas berpendapat bahwa daging babi haram, bagi saya itu bukanlah fikih. Sebab gagasan itu sudah disebutkan secara eksplisit dalam Alquran: “Hurrimat ‘alaikum al-maitat-u wa al-dam-u wa lahma al-khinzîr” (diharamkan atasmu (daging) mayat, darah dan daging babi -red). Alquran sudah menyebut, secara detail kata haramnya, dan jenis dagingnya secara spesifik. Nah, dalam hal yang seperti itu, saya tidak akan menentang pendapat Anda, karena itu bukan fikih. Contoh itu seratus persen nash (teks suci –red). Tapi ada pendapat (misalnya) bahwa bersentuhan dengan orang kafir yang basah adalah najis, dan mesti mandi. Kesimpulan fikih itu, tentu saja melalui proses bernalar yang panjang dan ayat Alqurannya sedikit dan tidak eksplisit: “Innamâ al-musyrikûn najasun” (orang musyrik itu najis). Pertanyaannya: Apakah yang musyrik itu orang atau tubuhnya atau bila tubuhnya basah saja? Bagaimana kalau tubuhnya kering? Contoh ini sudah mesti mengalami proses berfikir atau penalaran. Ada kemungkinan, orang-orang yang dihadapi Mas Ulil adalah orang-orang yang berpendapat bahwa pendapat mereka itu semata Alquran. Mereka mungkin akan mengatakan: “Kalau tidak percaya orang musyrik itu najis, baca dong ayat ini: “Innamâ al-musyrikûn najasun.” Kita bisa bertanya lebih lanjut: dari mana Anda tahu? Mungkin contoh lebih kongkrit adalah masalah boleh tidaknya orang non-Islam masuk masjid berdasar dalil “innamâ ya‘muru masâjidallâh…” (yang memakmurkan masjid-masjid Allah hanyalah orang beriman saja)? Betul. Untuk sampai pada kesimpulan begitu, kan melalui proses berpikir. Alquran secara tegas begini: “Sesungguhnya yang memakmurkan mesjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman pada Allah…”Ayat itu sebetulnya berbentuk “berita” saja. Tapi apakah defenisi “memakmurkan” di situ termasuk di dalamnya kegiatan memasuki masjid? Terus, ayat itu kan tidak secara eksplisit mengatakan kalau orang kafir tidak boleh masuk masjid. Di situ, yang dikatakan hanya orang mukminlah yang memakmurkan masjid. Konon, katanya ada ‘adât al-taqshîr (kata yang berfungsi sebagai pembatas), pada kata innamâ (hanya/saja -red). Kalau ada kata innamâ, itu berarti ada pembatasan. Lalu, ada proses penyimpulaan dengan mekanisme mafhûm al-mukhâlafah (analogi terbalik -red). Ahli fikih sampai pada kesimpulan: “Bila dalam redaksinya hanya orang-orang mukmin yang memakmurkan masjid, maka mafhûm mukhâlafah-nya, yang tidak beriman tidak boleh memakmurkan masjid. Tapi perlu diingat, dalam Ushul Fikih saja, pemakaian mafhûm mukhâlafah ini juga polemik di kalangan ulama. Polemik itu menyangkut apakah ia boleh dijadikan dalil atau tidak? Sebagian ulama mengatakan tidak boleh. Jadi dari sini jelas terlihat banyaknya proses berpikir dalam penyimpulan hukum Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar